Selasa, 22 Desember 2009

Realitas Pendidikan Seni Kita

PENDIDIKAN seni sebagai media pengembangan bakat seni, pengembangan berpikir dan pengembangan kreatifitas, selayaknya mendapatkan perhatian serius, terutama pemerintah selaku pengambil kebijakan. Para pakar seni juga mampu member formula, sehingga pendidikan seni di sekolah berjalan sesuai tujuan yang diharapkan.

Di sekolah-sekolah sekarang sedang diterapkan system kurikulum KTSP, dan mata pelajaran seni harus berbasis multikultural. Di sinilah perlunya gerakan pendidikan sen untuk mampu menampung beragam kelompok budaya dan sosial. Davidman (1996/1997: 68) mengatakan, pendidikan seni multikultural merupakan satu pendekatan pendidikan untuk mempromosikan keragaman budaya terutama budaya daerah setempat (budaya Aceh) lewat penciptaan, penikmatan dan pembahasan keindahan karya. Sayangnya, realitas di lapangan, pendidikan seni hanya dianggap sebagai pelengkap pelajaran di sekolah. Atau hanya jadi selingan bagi siswa yang merasa jenuh setelah berkutat dengan pelajaran-pelajaran eksakta dan ilmu sosial lainnya.

Ada atau tidaknya keberadaan pendidikan seni di suatu sekolah tidak terlalu dipersoalkan. Karena memang tak dianggap penting. Malahan mata pelajaran seni masih banyak diajar para guru yang bukan berbasis pendidikan seni. Pelaksanaan pendidikan seni di sekolah pada umumnya tidak didukung fasilitas memadai seperti laboratorium seni sebagaimana pelajaran lainnya. Selama ini kurangnya kreatifitas dari guru-guru yang mengajar pendidikan seni di sekolah sangat mempengaruhi keberhasilan dari tujuan pendidikan seni.

Secara umum tujuan pendidikan seni di sekolah adalah agar siswa mendapatkan pengalaman dalam berkarya, pengalaman dalam menciptakan konsep karya, pengalaman berestetika dan pengalaman untuk merasakan fungsi pendidikan seni bagi kehidupan. Tujuan pendidikan seni dalam kurikulum 2006 atau KTSP yaitu membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.

Saya merasa gelisah jika membayangkan, andaikata pelajaran matematika atau pelajaran bahasa Indonesia atau pelajaran lainnya diajarkan oleh guru yang berlatar belakang pendidikan seni, maka hasil pembelajaran tersebut akan menjadi bias dan tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan. Seharusnya mendapatkan porsi yang sama dengan mata pelajaran lain di sekolah walaupun pendidikan seni tidak di UAN kan.

Seni sebenarnya dapat menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri peserta didik. Maka fungsinya menjadi media pengembangan kreatifitas, pengembangan berpikir, komunikasi, media ekspresi, pengembangan bakat dan media memperoleh pengalaman estetis atau keindahan. Ada pengalaman saya ketika mengajar mata pelajaran seni budaya di satu sekolah di Banda Aceh, ketika itu siswa yang bolos dan tidak mengikuti pelajaran seni budaya karena dianggap tidak penting. Bahkan ada beberapa siswa yang hanya mengikuti ujian akhir semesteran tanpa mengikuti proses pembelajaran. Siswa yang bermasalah tersebut diberi kesempatan untuk remedial, akan tetapi ada yang tidak mau mengikuti sehingga tidak tuntas. Ketika saya memberikan nilai dibawah 60 atau dengan kata lain tidak tuntas dalam pelajaran seni budaya kepada kepada siswa yang tidak mengikuti proses pembelajaran, wali kelasnya merasa keberatan. Mereka menganggap pendidikan seni tidak semestinya mendapatkan nilai yang rendah karena pendidikan seni merupakan pendidikan yang mudah yaitu hanya sekedar menari, menggambar atau bernyanyi sehingga tidak sesukar pendidikan lainnya yang membutuhkan banyak pemikiran.

Itulah pandangan keliru dari sebagian guru terhadap pendidikan seni. Ironisnya, pendidikan seni budaya juga dianggap kurang penting sehingga penataran atau pelatihan seni bagi guru-guru seni budaya sangat jarang dilakukan oleh dinas terkait atau lembaga-lembaga formal lainnya. Hal yang kita lupakan selama ini, kita tidak sadar sejarah, khususnya Aceh yang pernah meraih kegemilangan salah satunya kemajuan seni budayanya. Ini seharusnya diapresiasi para guru dan pemerintah daerah. Bahwa Aceh dikenal oleh dunia luar bukan karena teknologi, bukan pula karena kualitas pendidikan atau yang lainnya tetapi kita dikenal karena seni dan budayanya. Sejatinya kita mempertahankan keberlangsungan budaya kita ditengah-tengah arus global?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar